takkan hidup tanpa ilmu...
Ayah dan Ibu Rasulullah saw
A. Pengantar
Nama ayah baginda ialah : Abdullah ibn Abdul Mutthalib ibn Hasyim ibn Abd Manaf ibn
Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr ibn
Malik ibn al-Nadhr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn
Mudhar ibn Nizar ibn Ma’ad ibn Adnan.
Sedangkan nama ibunya ialah : Aminah bint Wahb ibn Abd Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab.
Nasab kedua orangtua baginda bertemu di salah satu kakek mereka yang bernama Kilab.
B. Ayah
Ayahanda Rasulullah SAW
Abdullah ibn Abdul Mutthalib ibn Hasyim adalah putra terkecil pasangan Abdul Mutthalib dengan Fatimah bint ‘Amr.
Abdullah merupakan putra Abdul Mutthalib yang terbaik, paling disayang dan dikenal sebagai sembelihan (al-Dzabih).
Dijuluki sebagai sembelihan adalah karena Abdul
Mutthalib bernazar bahwa jika anak laki-lakinya genap sepuluh maka satu
diantaranya akan disembelih. Dan ternyata Allah memberinya sepuluh anak
laki-laki.
Maka terjadilah pengundian dan ternyata anak yang
harus disembelih itu jatuh ke Abdullah. Abdul Mutthalib ingin
melaksanakan nazar ini, dia segera mengambil pisau dan pergi menuju
Ka’bah untuk menyembelihnya. Tiba di depan Ka’bah, kaum Quraisy
melarangnya, terutama paman-pamannya. Lantas dia bertanya bagaimana saya
harus melaksanakan nazar saya? Akhirnya disarankan untuk dibawa ke
Arafah, lalu diundi lagi.
Jika diundi yang keluar nama Abdullah, maka Abdul Mutthalib akan bersedekah dengan 10
ekor onta sebagai ganti anaknya dan begitu seterusnya, dan jika yang
keluar nama onta, maka dia akan berhenti dan onta sebanyak itu akan
disembelih.
Sampai sepuluh kali undian, nama yang keluar adalah Abdullah. Itu berarti sudah 100 onta yang harus dipotong.
Baru pada undian kesebelas, nama yang keluar
adalah onta. Walhasil, 100 ekor onta akhirnya dipotong sebagai pengganti
jasad atau jiwanya Abdullah.
Kelebihan Abdullah
Dari sisi keturunan, Abdullah adalah putra Abdul Mutthalib, pemuka Quraisy dan orang yang paling dihormati di Makkah.
Dari sisi akhlak, Abdullah merupakan orang yang
dikenal sebagai pemuda yang berakhlak mulia. Bahkan, kebiasaan negatif
yang banyak dilakukan oleh pemuda Makkah, beliau tidak ikut
melakukannya. Termasuk zina. Bahkan beliau bertekad untuk tidak pernah
melakukan hubungan badan dengan lawan jenis kecuali dengan istrinya.
Di usianya yang ke-25, beliau dinikahkan dengan
Aminah, putri Wahb, seorang pemuka Quraisy. Dengan Aminah inilah
Abdullah pertama kali melakukan hubungan biologis.
Dalam beberapa referensi diceritakan bahwa, kedua
pasangan ini baru melakukannya sekali, setelah itu, Abdullah sudah
diperintahkan oleh orang tuanya pergi ke Syam untuk berdagang.
Wafat
Terdapat beberapa riwayat tentang wafatnya Abdullah.
Pertama dan yang paling populer :
- Abdullah meninggal dalam perjalanan kembali ke Makkah, dimakamkan di Abha. Rasulullah SAW masih dalam kandungan ibunya di bulan keenam.
- Riwayat kedua, beliau kembali dari berdagang ke Syam.
- Ada juga riwayat yang mengatakan beliau baru kembali dari Madinah guna memetik kurma untuk dibawa ke Makkah.Ada juga pendapat yang mengatakan beliau sakit di Madinah, lalu belum lagi sembuh benar beliau pulang ke Makkah dan meninggal, itu terjadi setelah kelahiran Rasulullah SAW 2 bulan.
Ketika wafat usia Abdullah 25 tahun.
Warisan yang ditinggalkan Abdullah adalah : 5 ekor
onta, beberapa ekor kambing dan seorang budak perempuan yang bernama
Barakah atau yang lebih dikenal dengan Ummu Aiman.
C. Ibu Kandung
Ibunda Rasulullah SAW
Aminah bint Wahb ibn Abd Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab ibn Murrah.
Lahir di Makkah, sekitar 18 tahun sebelum Rasulullah SAW dilahirkan.
Ibunya adalah : Barrah bint Abd al-’Uzza ibn Utsman ibn Abd al-Dar, ibn Qushay ibn Kilab, ibn Murrah.
Wanita dengan nasab terbaik yang ada di Quraisy,
mempunyai akhlak yang baik dan menjaga kehormatannya dengan baik.Wanita
yang Rasulullah SAW banggakan dengan sabdanya :
Sesungguhnya aku adalah anak seorang perempuan dari Quraisy yang
memakan Qadid (dendeng). (HR. Ibn Majah)[1]
Allah terus memindahkan aku dari tulang shulb yang
baik, dipindahkan ke rahim yang suci, bersih, terpilih. Tidaklah ia
mempunyai dua cabang kecuali aku masuk dalam yang terbaik.
Pernikahannya dengan Abdullah
Di hari-hari pesta pernikahan, di malam pertama
pasangan pengantin ini, Aminah bermimpi yang ia ceritakan kepada
suaminya Abdullah : Aku melihat cahaya yang memancar dengan lembut
sehingga menerangi dunia dan seisinya. Hingga seolah-olah terlihat
olehnya megahnya istana Bushra di negeri Syam. Lalu ada suara yang
membisik : Kamu sudah mengandung pemimpin umat ini.
Alkisah, Aminah teringat seorang peramal Quraisy
yang bernama Sauda’ Bint Zuhrah al-Kilabiyah pernah berkata kepada
penduduk Bani Zuhrah bahwa akan lahir dari turunan kalian seorang
pengingat atau pemberi peringatan. Para penduduk kala itu meminta
peramal ini untuk menunjukkan orang yang akan melahirkan dari rahimnya
pemberi peringatan tersebut. Sauda’ sang peramal menunjuk kepada Aminah.
Kejadian serupa menimpa Abdullah yang menjelang
malam pertamanya dengan Aminah, datang kepadanya Putri Naufal ibn Asad,
saudara perempuan Waraqah ibn Naufal sang pendeta, dia menawarkan diri
untuk dinikahi atau disetubuhi pada malam itu juga. Akan tetapi Abdullah
yang sudah berjanji akan menjaga keperjakaannya menolak. Esok harinya,
ketika Abdullah bertemu dengannya lagi, Abdullah bertanya : Mengapa
engkau tidak menawarkan diri kepadaku lagi? wanita itu menjawab : Cahaya
yang menemani kamu kemarin sudah tidak ada lagi hari ini, maka saya
tidak menginginkanmu lagi.
10 hari pasangan suami istri ini menikmati
indahnya rumah tangga, sampai akhirnya Abdullah harus ikut bergabung
dengan rombongan pedagang yang akan berangkat ke Syam.
Menunggu Suami
Sebulan setelah kepergian sang suami, Aminah merasa bahwa ia hamil. Kondisi ini semakin menambah kerinduan kepada suami.
Tiba musim pedagang Makkah kembali dari Syam,
Aminah yang ditemani oleh pembantunya yang bernama Ummu Aiman, duduk
menanti sang suami datang.
Ketika tamu datang, yang muncul adalah ayah dan
mertuanya, Wahb dan Abdul Mutthalib. Mereka mengabarkan bahwa Abdullah
harus tinggal di Yatsrib, di rumah seorang kerabat, karena sakit yang
diderita.
Selang beberapa hari kemudian, utusan dari Yatsrib datang membawa kabar duka, Abdullah meninggal dunia.
Pengantin baru ini sedih luar biasa, kerinduan
akan suami sangat terasa. Namun takdir tidak bisa ditolak, ajal tidak
bisa ditunda. Kematian akhirnya akan datang kepada siapa saja.
Melahirkan Anak Pertama
Sembilan bulan janin dikandung, tiba harinya,
lahirlah bayi yang dinantikan itu. Detik-detik sebelum kelahiran bayi
ini, Aminah menyaksikan cahaya menyinari rumahnya.
Bidan yang menangani prosesi kelahiran ini adalah
al-Syifa', ibu dari Abdurrahman ibn ‘Auf. Dia bercerita bahwa yang dia
lihat pertama kali adalah cahaya yang begitu terang benderang. Tidak ada
kesulitan sama sekali dalam proses persalinan ini. Ditemani oleh Ummu
Aiman, sang pembantu, al-Syifa' dengan mudah melaksanakan tugasnya
sebagai seorang bidan.
Kegembiraan pun menyelimuti Aminah, bayi yang ditunggu-tunggunya sudah lahir dengan selamat, bahkan penuh dengan keajaiban.
Belum lagi kegembiraan itu sempurna, kesedihan
harus datang lagi, sang anak tidak mau disusui. Hari pertama ditolak,
hari kedua demikian pula. Ibu muda ini pun bingung, 2 hari bayi ini
tidak makan apa-apa, bagaimana jika dia sakit lalu meninggal. Kesedihan
dan kekhawatiran seorang ibu pun mulai menyelimuti dirinya.
Ketika keadaannya seperti itu, datanglah
Tsuwaybah, budak atau pembantu Abu Lahab, paman si bayi, menawarkan
untuk menyusuinya. Dan aneh, bayi ini mau disusui oleh Tsuwaybah.
Alhasil, Tsuwaybah menjadi ibu susu bayi ini untuk beberapa hari.
Pendidikan Awal Untuk Sang Putra
Bayi yang baru dilahirkannya, diambil oleh sang
kakek, Abdul Mutthalib, dibawa ke Ka’bah, di sanalah ia dinamakan dengan
Muhammad.
Tidak lama kemudian, sekitar 8 hari, sebagaimana
adat orang Makkah pada waktu itu, mereka menitipkan anak-anaknya kepada
ibu-ibu susu. Muhammad pun dititipkan kepada Halimah al-Sa’diyah untuk
disusui dan dididik di kampungnya, daerah Bani Sa’ad (sekitar 25 km dari
Makkah).
Dua tahun Muhammad dititipkan di Bani Sa’ad, baru
kemudian dikembalikan ke pangkuan ibu kandungnya. Akan tetapi dengan
bujuk rayu Halimah dan suaminya al-Harits, Muhammad kembali dititipkan
kepadanya.
Selang beberapa bulan kemudian, Muhammad
dikembalikan lagi kepada ibu kandungnya di Makkah, dan mulai saat itu,
Muhammad berada di bawah belai kasih dan didikan Aminah serta bantuan
Ummu Aiman sang pembantu.
Dengan penuh kasih sayang dan perhatian, Aminah membesarkan putra tunggalnya Muhammad, hari demi hari, bulan demi bulan.
Wafat
Tiga tahun Aminah mendidik anak tunggalnya dengan
suka dan duka. Kelucuan, keceriaan dan ketangkasan Muhammad, mampu untuk
menggembirakan hatinya. Namun, kerinduan akan mendiang suami tidak juga
bisa terlupakan. Ia memutuskan untuk menziarahi makam sang suami sambil
menziarahi kerabat yang ada di kota Yatsrib.
Dengan mengajak serta anak dan pembantunya Ummu
Aiman, Aminah mengikut kafilah dagang, berangkat ke Yatsrib. Dalam
riwayat, ikut pula mertua beliau Abdul Mutthalib.
Ajal tidak dapat ditolak, malaikat maut tidak
pernah kompromi, kematian akan datang kepada setiap manusia pada saat
yang sudah ditentukan.
Di tengah perjalanan pulang kembali ke Makkah,
tepatnya di kampung Abwa, 210 km dari Madinah arah Makkah, Aminah
meninggal dunia dan dimakamkan di sana.
Usia beliau kala itu sekitar 24 tahun.
Lengkap
sudah, Muhammad menjadi yatim piatu. Mulai hari itu, anak kecil ini
tidak lagi akan mendengar canda ibu, setelah dia tidak pernah melihat
kharisma wajah sang ayah. Muhammad kembali ke Makkah bersama Ummu Aiman,
kakeknya Abdul Mutthalib dan rombongan kafilah dagang.
[1] Hadis diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam al-Sunan, hadis no. 3303.
0 komentar:
Posting Komentar