Takwil

Selasa, 08 Juni 2010


Pengertian Takwil
            Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl(أوّل - يؤوّل  ), artinya kembali; atau dari kata al ma’al(            ) artinya tempat kembali; al- iyalah(           ) yang berarti al –siyasah(                   ) yang berarti mengatur.   Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :
            Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
            Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah  perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.  
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal [As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].

Secara Terminologi, Ulama Salaf mendefinisikan takwil sebagai berikut:

a.Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa
“Sesungguhnya takwil itu dalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir.”

b.Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa:
“Membawa makna lafazh zohir yang memunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Kaum muhadditsin mendefinisikan takwil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, yaitu:
Menurut Wahab Khalaf takwil yaitu “memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.”
Menurut Abu Zahra takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya

Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu. 
       
Perbedaan antara tafsir dengan ta’wil
Tentang perbedaan tafsir dan ta’wil ini  banyak pendapat ulama yang pendapat tentang ini,dan pendapat ulama itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu sama lain, maka dari itu bias kita simpulkan sebagai berikut:
Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan ta’wil apa-apa yang bersangkutan paut dengan dirayah.
Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan ta’wil hanya menjelaskan secara global tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
Ta’wil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan para ulama dalam penafsiran itu.
Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara majazi sedangkan ta’wil menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.


Sejarah Perkembangan Tafsir
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti:
 (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas;
(b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan
 (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."

Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya

Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.

1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah
     sebagai sumber penafsirannya.
2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber  
     penafsirannya.
3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang
     biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga
    disebut sebagai tafsir shufi.

 Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya        

Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.

Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:

1.                  Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy.
2.                  Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah  
      fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir 
      bilma’tsur.
3.  Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan
     filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam.
     Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-Ra’yi.
4.  Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan
     pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum.  Dari segi sumber penafsirannya
     tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi.
1.                  Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada
      masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya
      tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada  juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.

Macam-macam Tafsir dan Takwil berdasarkan metodenya
1.  Metode Tahlily (metode Analisis)
Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut.

2.  Metode Ijmaly (metode Global)
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
3.  Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75].
4.  Metode Maudhu’i (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut
Macam-macam ta’wil
1)                 Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
2)                 Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta diduga sebagai makna yang benar

0 komentar:

 
 
 

Berikan comment anda..