KEUTAMAAN ‘ASYURA DAN BULAN MUHARRAM

Selasa, 11 Mei 2010


Sesungguhnya bulan Muharram adalah bulan yang agung dan diberkahi, bulan pertama dalam kalender Islam dan salah satu dari bulan haram (suci) yang Allah tegaskan dalam firman-Nya, yang artinya:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian pada bulan yang empat itu.”
(QS. At-Taubah: 36)

Dari Abu Bakroh dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya:

“… satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram yaitu tiga bulan yang berturut-turut, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudlor yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.”
(HR Bukhari 2958).

Muharram dinamakan dengan nama ini karena ia adalah bulan yang diharamkan dengan penegasan yang kuat. Allah berfirman, yang artinya :

“Jangan kalian menzhalimi diri kalian pada bulan-bulan tersebut”

Maksudnya: pada bulan-bulan haram tersebut, karena dosa pada bulan tersebut lebih berat dibanding dosa di bulan-bulan lain.

Dari Ibnu Abbas ketika beliau menjelaskan tentang firman Allah, yang artinya : “Jangan kalian menzhalimi diri kalian pada bulan-bulan tersebut”. Allah mengkhususkan empat bulan yang haram dan menegaskan keharamannya. Allah juga menjadikan dosa pada bulan tersebut lebih besar. Demikian pula amal shaleh dan pahala juga menjadi lebih besar.

Qatadah -rahimahullaah- mengatakan berkaitan dengan firman Allah, yang artinya : “Jangan kalian menzhalimi diri kalian pada bulan-bulan tersebut”. Sesungguhnya perbuatan zhalim pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada pada bulan-bulan lain. Meskipun zhalim, bagaimanapun juga merupakan dosa besar, tetapi Allah membesarkan sesuatu yang Ia kehendaki. Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya Allah memilih beberapa pilihan dari makhluk-Nya, Allah telah memilih rasul (utusan) dari para malaikat sebagaimana Allah juga memilih rasul dari umat manusia, Allah memilih dzikir dari kalam-Nya, memilih masjid-masjid dari bumi-Nya, memilih bulan Ramadlan dan bulan-bulan haram dari seluruh bulan, memilih hari Jum’at dari seluruh hari dalam satu pekan, memilih lailatul qadar dari seluruh malam, maka agungkanlah apa yang telah Allah agungkan, karena menurut para ulama segala sesuatu itu memiliki kedudukan agung jika memang telah Allah berikan kedudukan agung padanya.

(Diringkas dari Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah; tafsir surat At Taubah 36)


KEUTAMAAN MEMPERBANYAK PUASA PADA BULAN MUHARRAM

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadlan adalah puasa pada “bulan Allah” yang namanya bulan Muharram.” (HR Muslim nomor 1982)

Kata “bulan Allah” menunjukan bahwa bulan tersebut memiliki keagungan karena disandarkan kepada Allah. Al-Qari mengatakan: “Yang dapat dipahami secara langsung dari hadits ini adalah bahwa hal ini mencakup seluruh hari pada bulan Muharram.

Tetapi ada hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadlan. Maka hadits ini merupakan anjuran untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram tetapi tidak satu bulan penuh.

Ada pula hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Mungkin beliau baru mendapat wahyu tentang keutamaan bulan Muharram pada akhir hayatnya, sebelum sempat mengerjakan puasa pada bulan tersebut. (Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi)

ALLAH MEMILIH WAKTU DAN TEMPAT YANG IA KEHENDAKI

Imam Al ‘Izz bin Abdissalaam -rahimahullaah- mengatakan: “Memberikan keutamaan pada tempat dan waktu itu ada dua bentuk; pertama: yang bersifat duniawi, kedua: diniy (bersifat keagamaan) yang kembali pada kemurahan Allah terhadap para hamba-Nya untuk melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang beramal, seperti keutamaan puasa Ramadlan dari puasa pada bulan-bulan lain, demikian pula ‘Asyura. Keutamaan yang Allah berikan ini menunjukkan kemurahan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya. (Qawa’idul Ahkaam 1/38)

‘ASYURA DALAM SEJARAH

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang ke kota Madinah dan melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura beliau bertanya: “Apa ini ?

Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Nabi Musa pun berpuasa pada hari ini.”

Beliau bersabda: “Saya lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada kalian, maka beliau berpuasa dan memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berpuasa juga.” (HR Bukhari nomor 1865)

Perkataan: “Ini hari baik” dalam Shahih Muslim diriwayatkan dengan ungkapan: “Ini adalah hari agung, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.” Sabda beliau: “maka Nabi Musa puasa pada hari tersebut.” Imam Muslim menambahkan riwayatnya: “sebagai rasa syukur kepada Allah maka kami juga puasa”. Dalam riwayat Imam Bukhari: “dan kami juga puasa pada hari tersebut sebagai penghormatan” Imam Ahmad juga meriwayatkan dengan menambahkan: “itu juga adalah hari di mana perahu Nabi Nuh tepat berada di atas gunung, maka Nabi Nuh juga puasa sebagai rasa syukur.”

Sedang ungkapan: “maka beliau memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa juga” dalam riwayat Imam Bukhari juga dinyatakan: “maka beliau bersabda kepada para shahabatnya: Kalian semua lebih berhak dengan Nabi Musa daripada mereka, maka puasalah kalian”.

Puasa ‘Asyura sudah dikenal bahkan pada masa jahiliyah sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam diangkat menjadi rasul. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah dahulu sudah pernah mengerjakan puasa ‘Asyura”. Imam Al Qurthubi mengatakan: “Mungkin orang-orang jahiliyah melakukan puasa tersebut dengan alasan mengikuti syari’at umat terdahulu seperti Nabi Ibrahim.

Dalam suatu hadits dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mengerjakan puasa ini di Mekah sebelum beliau hijrah ke Madinah. Ketika beliau hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi memperingatinya. Maka beliau bertanya kepada mereka tentang sebabnya. Mereka menjawab sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Beliaupun memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan perbuatan yang berbeda dengan mereka di mana mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari ied. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits Abu Musa beliu mengatakan: “Hari ‘Asyura dijadikan sebagai hari ied oleh orang-orang Yahudi.” Dalam riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim: “Hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan dan dijadikan sebagai hari ied oleh orang-orang Yahudi.” Dalam riwayat yang lain di Shahih Muslim disebutkan: “Penduduk Khaibar (Yahudi) menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari ied, mereka memakaikan para wanita mereka dengan berbagai perhiasan.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Puasalah kalian pada hari tersebut.” (HR Bukhari)

Maka dapat kita simpulkan bahwa faktor yang mendorong perintah puasa ini adalah keinginan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi, agar kita berpuasa pada hari di mana mereka berbuka; karena pada hari ied orang tidak puasa. [Demikian ringkasan penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari]

KEUTAMAAN PUASA ‘ASYURA

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata, yang artinya: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sangat berusaha mengerjakan puasa untuk mendapatkan pahalanya dibanding hari-hari lainnya selain hari ini yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu bulan Ramadlan. [HR Bukhari no 1867]

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya:

“Saya memohon kepada Allah agar puasa ‘Asyura menjadi penghapus dosa satu tahun yang telah lalu.” (HR Muslim no 1976)

Ini merupakan karunia Allah kepada kita, karena telah memberikan pahala puasa satu hari yang dapat menghapuskan dosa-dosa selama satu tahun penuh.

KAPAN ‘ASYURA ITU ?

Imam An-Nawawi -rahimahullaah- mengatakan: “‘Asyura dan Tasu’a adalah isim (kata benda) yang memiliki mad (dipanjangkan). Inilah yang dikenal dalam buku-buku bahasa. Para ulama dalam madzhab kita (Asy-Syafi’iyah) mengatakan: ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram sedang Tasu’a adalah hari kesembilan dari bulan yang sama…inilah pendapat jumhur ulama (kebanyakan ulama)… inilah yang dimaksud dalam hadits-hadits, yang sesuai dengan bahasa (Arab) dan dikenal oleh para ahli bahasa. (Kitab Al Majmu’)

Ini adalah nama yang islami dan tidak dikenal di zaman Jahiliyah. (Kasyful Qina’ juz 2 tentang puasa Muharram).

Ibnu Qudamah -rahimahullaah- mengatakan: ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari Muharram. Ini adalah pendapat Sa’id bin Musayyib dan Hasan Al-Bashri. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata, yang artinya:

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada hari ‘Asyura yaitu hari kesepuluh bulan Muharram.”
(HR At Tirmidzi. Beliau mengatakan: Ini adalah hadits hasan shahih)

KEUTAMAAN PUASA TASU’A (HARI KESEMBILAN BULAN MUHARRAM) DI SAMPINGASYURA

Sahabat Abdullah bin Abbas berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan puasa ‘Asyura dan beliau perintahkan kaum muslimin juga untuk berpuasa, para sahabat mengatakan: “Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

“Insya Allah pada tahun depan kita akan puasa pada hari kesembilan.”

Ibnu Abbas mengatakan: “Sebelum datang tahun berikutnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sudah wafat.” (HR Muslim no 1916)

Imam Asy-Syafi’i, para pengikutnya, Imam Ahmad, Ishaq dan ulama lain berpendapat: disunahkan puasa hari kesembilan dan kesepuluh, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah puasa pada hari kesepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.

Oleh karena itu puasa ‘Asyura ini ada beberapa tingkatan: yang terendah adalah puasa pada hari kesepuluh saja, kemudian yang di atasnya puasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Semakin banyak puasa yang dikerjakan pada bulan Muharram maka itu lebih baik dan lebih utama.

HIKMAH DISUNNAHKANNYA PUASA TASU’A (Hari Kesembilan Bulan Muharram)

Imam An-Nawawi -rahimahullaah- mengatakan: Para ulama dari ulama-ulama madzhab Syafi’iyyah dan ulama lain menyebutkan beberapa hikmah disunnahkannya puasa tasu’a:

1. Berbeda dengan orang Yahudi yang hanya puasa pada hari kesepuluh saja.

2. Menyambung puasa ‘Asyura dengan puasa lain, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang puasa hari Jum’at saja, Ini disebutkan oleh Al-Khaththabi dan lainnya.

3. Berhati-hati agar mendapatkan hari kesepuluh, karena khawatir keliru dalam penghitungan hari, jangan-jangan hari kesembilan yang disangka itu ternyata sudah masuk pada hari yang kesepuluh.

Pendapat yang lebih kuat dari ketiga alasan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa hikmah dikerjakan puasa pada hari kesembilan adalah agar berbeda dengan orang-orang Yahudi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullaah- mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang kaum muslimin menyerupai orang-orang ahlul kitab dalam beberapa hadits seperti sabda beliau tentang puasa ‘Asyura, yang artinya:

“Jika saya masih hidup tahun depan maka sungguh saya akan puasa pada hari kesembilan.”
(Al Fatawa al Kubro jilid 6)

Al Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullaah- memberikan komentar terhadap hadits:

“Jika saya masih hidup pada tahun depan, maka saya akan puasa pada hari kesembilan.”

Apa yang menjadi keinginan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untuk berpuasa pada hari kesembilan adalah mengandung makna bahwa puasa ‘Asyura tidak hanya hari kesepuluh, namun ditambah dengan hari kesembilan. Hal ini bisa jadi karena hati-hati atau untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan inilah pendapat yang rajih (kuat) sebagaimana yang ditunjukkan dalam beberapa riwayat hadits di Shahih Muslim. (Fathul Bari 4/245)

HUKUM MENGERJAKAN PUASA ‘ASYURA SAJA (TANPA TASU’A)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullaah- mengatakan: “Puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa satu tahun dan bukan termasuk perbuatan yang makruh jika hanya mengerjakan puasa ‘Asyura saja… (Al Fatawa Al Kubro jilid 5).

Dalam Tuhfatul Muhtaj, Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan: “Tidak mengapa kalau hanya mengerjakan ‘Asyura saja… (jilid 3 Bab Puasa Sunnat)

TETAP PUASA ‘ASYURA MESKI BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT ATAU SABTU

Ada larangan mengerjakan puasa pada hari Jum’at. Juga larangan mengerjakan puasa pada hari Sabtu kecuali puasa fardlu. Namun larangan ini akan hilang jika ketika mengerjakan puasa hari Jum’at atau Sabtu tersebut dengan menambahkan satu hari sebagai pasangan bagi masing-masing hari tersebut. Atau bertepatan dengan ibadah yang disyariatkan seperti puasa satu hari dan berbuka satu hari, puasa nadzar, puasa qadla atau puasa yang memang dianjurkan dalam syari’at seperti puasa ‘Arafah dan puasa ‘Asyura… (Tuhfatul Muhtaaj jilid 3 Bab Puasa Sunat – Musykil Atsar jilid 2 Bab Puasa Hari Sabtu).

Syaikh Al-Bahuti -rahimahullaah- mengatakan: “Dilarang menyengaja mengkhususkan untuk berpuasa hari Sabtu, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Bisyr dari saudarinya, yang artinya:

“Jangan kalian puasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang memang telah diwajibkan pada kalian.” (HR Imam Ahmad dengan sanad yang baik dan Al Hakim dan beliau mengatakan: Hadits ini sesuai dengan syarat Imam Bukhari)

Hal ini dilarang karena menyerupai orang-orang Yahudi, maka jika mengkhususkan hari Sabtu saja menyerupai mereka… kecuali jika hari Jum’at atau Sabtu tersebut bertepatan dengan kebiasaan yang ada dalam syari’at seperti hari ‘Arafah atau hari ‘Asyura dan sudah menjadi kebiasaan puasa pada kedua hari tersebut, maka tidak dilarang, karena kebiasaan tersebut punya pengaruh. (Kasful Qina’ jilid 2 Bab Puasa Sunat)


APA YANG DILAKUKAN JIKA RAGU KAPAN AWAL BULANNYA ?

Imam Ahmad -rahimahullaah- mengatakan: “Jika seseorang ragu kapan awal bulan Muharram maka ia puasa tiga hari, agar ia yakin telah mengerjakan puasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. (Al Mughni karya Ibnu Qudamah jilid 3 Puasa-Puasa ‘Asyura)

Siapa yang tidak mengetahui kapan mulai masuk bulan Muharram dan ingin berhati-hati, maka ia menggenapkan bulan Dzul Hijjah menjadi tiga puluh hari, sebagaimana sudah menjadi kaidah, kemudian dia mengerjakan puasa hari kesembilan dan kesepuluh. Siapa yang berhati-hati maka ia puasa pada hari kedelapan, kesembilan dan kesepuluh (Jika Dzulhijjahnya 29 hari maka ia telah mengerjakan Tasu’a dan ‘Asyura dengan yakin).

Karena puasa ‘Asyura ini hukumnya sunnah dan bukan wajib maka orang tidak diperintahkan untuk mengawasi dan mengamati secara seksama awal bulan Muharram seperti pada awal bulan Ramadlan dan Syawwal.

APA YANG DAPAT DIHAPUS DENGAN PUASA ‘ASYURA ?

Imam An-Nawawi -rahimahullaah- mengatakan: “(Puasa ‘Asyura) menghapus semua dosa-dosa kecil, maka maksud hadits tentang puasa ‘Asyura menghapus semua dosa artinya selain dosa besar. Baliau melanjutkan: “Puasa ‘Arafah menghapus dosa dua tahun dan puasa ‘Asyura menghapus dosa satu tahun. Jika bacaan "amin" ma’mum berbarengan dengan bacaan aminnya malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu… Semua yang telah disebutkan tersebut dapat menjadi penghapus. Jika orang tersebut memiliki dosa-dosa kecil maka amal-amal tersebut menjadi penghapusnya, jika ia tidak punya dosa-dosa kecil maupun besar maka akan dicatat sebagai kebaikan dan diangkat derajatnya. Dan jika ia punya dosa besar tetapi tidak punya dosa kecil maka kita berharap dapat meringankan dosa-dosa besar tersebut. (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 6 Puasa Hari Arafah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullaah- mengatakan: “Thaharah, shalat, puasa Ramadlan, puasa Arafah, dan puasa ‘Asyura hanya dapat menghapuskan dosa-dosa kecil. (Al Fatawa Al Kubro jilid 5)

TIDAK TERLENA DENGAN PAHALA PUASA

Sebagian orang terlena dengan bersandarkan pada puasa hari ‘Asyura atau puasa Arafah, sampai-sampai ada yang mengatakan: “Puasa ‘Arafah dapat menghapuskan seluruh dosa selama satu tahun dan puasa Arafah menambah pahala. Ibnul Qoyyim -rahimahullaah- mengatakan: “Orang yang tergiur ini tidak tahu bahwa puasa Ramadlan dan shalat lima waktu lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan puasa Arafah dan puasa ‘Asyura, dan amalan-amalan ini dapat menghapus dosa jika menghindarkan dosa-dosa besar. Ramadlan yang satu ke Ramadlan yang lain, Jum’at ke Jum’at berikutnya tidak sanggup menghapus dosa-dosa kecil jika tidak dibarengi dengan meninggalkan dosa-dosa besar. Gabungan kedua hal inilah yang dapat menghapuskan dosa-dosa kecil.

Ada juga orang-orang yang terlena dan mengira bahwa ketaatan yang telah dilakukannya lebih banyak dari maksiat yang pernah dikerjakannya, karena dia tidak mengevaluasi kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya. Jika dia melakukan amal shaleh dia mengingat-ingatnya dan menghitung-hitungnya seperti orang yang istighfar dengan lisannya dan bertasbih kepada Allah dalam sehari seratus kali. Kemudian dia membicarakan kejelekan dan merobek-robek kehormatan kaum muslimin, sepanjang harinya dia membicarakan hal-hal yang tidak diridloi oleh Allah. Orang ini hanya mengamati keutamaan-keutamaan tasbih dan tahlil, tetapi tidak melihat nash-nash yang menunjukkan ancaman bagi orang-orang yang membicarakan kejelekan orang lain, berdusta, menyebarkan fitnah dan dosa-dosa lain yang keluar dari lisan. Inilah yang dinamakan terlena. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah jilid 31)

MENGERJAKAN PUASA ‘ASYURA PADAHAL MASIH PUNYA TANGGUNGAN PUASA RAMADLAN

Ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa sunnat sebelum menqadla (membayar) puasa Ramadlan yang menjadi tanggungannya. Ulama-ulama madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa hukumnya boleh dan tidak dimakruhkan, karena mengqadla puasa itu tidak harus langsung dikerjakan. Ulama-ulama madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat boleh tetapi hukumnya makruh, karena mengakhirkan mengerjakan kewajiban. Imam Ad-Dasuqi mengatakan: “Menurut pendapat yang kuat, dimakruhkan mengerjakan puasa sunat bagi orang yang punya tanggungan puasa (wajib), seperti puasa nadzar, qadla dan kaffarat, baik puasa sunnat tersebut tidak dianjurkan dengan tegas ataupun sangat dianjurkan seperti puasa ‘Asyura dan Tasu'a di bulan Dzul Hijjah”.

Sedangkan ulama-ulama madzhab Hanabilah berpendapat bahwa hukum mengerjakan puasa sunat sebelum menqadla puasa Ramadlan adalah haram dan tidak sah, meski waktu untuk mengqadla puasa wajib ini masih terbuka lebar. Jadi harus memulai dengan mengerjakan yang wajib dulu dengan mengqadla. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah jilid 28: Puasa Sunat)

Maka hendaknya setiap muslim segera mengqadla puasa setelah keluar dari bulan Ramadlan agar dapat mengerjakan puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura tanpa ada halangan. Jika ia berpuasa pada hari ‘Arafah dan ‘Asyura dengan niat mengqadla sejak malam hari maka hal ini bisa berfungsi sebagai qadla puasa wajibnya. Karunia Allah sangatlah agung.

BID’AH-BID’AH YANG BERKAITAN DENGAN ‘ASYURA

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullaah- pernah ditanya tentang beberapa perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang, seperti memakai celak, mandi, menyemir (rambutnya), berjabatan tangan, memasak biji-biji, menampakkan kegembiraan dan lain-lain. Apakah perbuatan-perbuatan ini ada tuntunannya atau tidak ?

Jawab: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Tidak ada hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan sahabatnya yang menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Tidak ada seorangpun dari para imam-imam kaum muslimin, baik Imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) maupun yang lainnya. Para penulis kitab-kitab induk juga tidak meriwayatkan hal ini, baik dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, para sahabat, tabi’in, yang shahih maupun yang lemah.

Namun sebagian ulama zaman sekarang ini meriwayatkan beberapa hadits yang berkaitan dengan hal-hal tersebut, seperti: “Siapa yang memakai celak pada hari ‘Asyura maka tidak akan sakit mata pada tahun itu.” “Siapa yang mandi pada hari ‘Asyura tidak akan sakit pada tahun tersebut.” Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini.

Mereka juga meriwayatkan hadits palsu dan dusta dengan mengatasnamakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

“Siapa yang memberikan kelapangan (rizki) kepada keluarganya pada hari ‘Asyura maka Allah akan memberikan kelapangan (rizki) sepanjang tahun.” Semua riwayat-riwayat ini dusta, bukan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Kemudian Syaikhul Islam -rahimahullaah- menyebutkan secara ringkas tentang fitnah, kejadian-kejadian dan pembunuhan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang telah terjadi pada generasi awal umat ini dan apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok. Beliau berkata: Maka muncullah kelompok yang jahil (tidak punya ilmu) dan zhalim: ada yang mulhid munafik dan ada juga yang sesat yang menampakkan kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan ahlul baitnya. Mereka menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari berduka cita dan meratap, menampakkan kebiasaan-kebiasaan orang-orang jahiliyah, seperti memukul-mukul pipi, merobek-robek saku pakaian dan saling mengungkapkan bela sungkawa dengan cara jahiliyah, melantunkan nasyid-nasyid yang mengungkapkan kesedihan, meriwayatkan berbagai riwayat yang banyak dustanya, yang sebenarnya hal itu tidak lain hanyalah mengulang kembali kesedihan, ta’ashshub (fanatisme buta), memanas-manasi api perpecahan dan permusuhan, menebarkan fitnah di kalangan kaum muslimin dan menjadikan momen tersebut sebagai sarana untuk mencela orang-orang terdahulu (para sahabat).

Kejelekan dan bahaya yang mereka timbulkan terhadap kaum muslimin tidak dapat diungkapkan oleh orang yang fasih dalam berbicara. Kemudian ada dua kemompok yang memberikan reaksi terhadap mereka, An-Nawashib yang juga ta’ashshub (fanatik buta) terhadap Husain dan keluarganya dan orang-orang yang tidak punya pengetahuan, kemudian menyikapi kesalahan mereka dengan kesalahan lain, dusta dengan dusta, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka membuat-buat beberapa atsar (riwayat) tentang syiar-syiar yang menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan pada hari ‘Asyura seperti memakai celak dan pacar, memberikan kelapangan nafkah kepada keluarga, memasak makanan yang diluar kebiasaan dan perbuatan-perbuatan lain yang biasa dilakukan pada hari ied dan hari besar. Mereka menjadikan hari ‘Asyura sebagai salah satu musim seperti ied dan hari bergembira lainnya. Kedua kelompok ini sama-sama salah dan keluar dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. (Al Fatawa Al Kubro karya Ibnu Taimiyah)

Imam Ibnul Haaj -rahimahullaah- menyebutkan bahwa di antara bid’ah pada hari ‘Asyura adalah menyengaja mengeluarkan zakat baik disegerakan ataupun sengaja diakhirkan supaya bertepatan dengan hari ‘Asyura, mengkhususkan memotong ayam, wanita sengaja menggunakan semir untuk kulit (biasanya di tangan dan kaki).

Kita memohon kepada Allah agar berkenan menjadikan kita termasuk orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam, menghidupkan kita di dalam Islam, mematikan kita di dalam keimanan, dan memberikan taufik kepada kita agar dapat senantiasa mengerjakan semua yang dicintai dan diridloi oleh-Nya. Kita juga memohon kepada-Nya agar memberikan kemampuan kepada kita untuk dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Nya dan menerima amal ibadah kita serta menjadikan kita orang-orang yang bertaqwa. Semoga shalawat serta salam tetap tersurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarganya dan seluruh sahabatnya.

0 komentar:

 
 
 

Berikan comment anda..